Transformasi IAIN menjadi UIN—dalam kasus UIN Sunan Kalijaga secara formal terjadi pada tahun 2004—jelas merupakan titik sejarah yang tidak boleh dilewatkan begitu saja dalam sejarah panjang pendidikan Islam di Indonesia. Di tengah berbagai problema pendidikan di Indonesia, mulai dari persoalan subsidi dari pemerintah hingga soal rendahnya kualitas pendidikan, transformasi ini melahirkan harapan tertentu dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia.
Tentu saja transformasi IAIN menjadi UIN ini hakikatnya adalah transformasi dalam dimensi akademik-keilmuannya, dan bukan sekerad perubahan fisik bangunan atau manajerial pengelolaannya. Di sinilah kemudian menjadi penting bagi setiap civitas akademik UIN untuk bisa menjawab pertanyaan tentang bagaimana perbedaan struktur keilmuan pra-UIN dengan UIN. Jawaban paling nyata dari pertanyaan tersebut adalah bertambahnya komposisi fakultas dengan dibukanya fakultas dan jurusan “umum”, sementara sebelumnya hanya ada fakultas-fakultas “agama Islam”. Namun jawaban seperti ini hanya akan menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada perubahan di UIN karena yang terjadi adalah sekedar “menambah dan menempelkan” bidang-bidang keilmuan “umum” sebagai “tambahan pekerjaan” belaka bagi IAIN, tanpa ada perubahan signifikan dalam epistimologi keilmuannya.
Sejak tahun 2001 upaya pembahasan transformasi ini serius dilakukan dengan secara berkala melakukan diskusi dan seminar untuk menentukan titik temu. Pada akhirnya disepakatilah sebuah paradigma keilmuan baru yang dikenal sebagai Paradigma Integrasi-Interkoneksi dengan dipelopori oleh M. Amin Abdullah selaku rektor UIN Sunan Kalijaga dan sekaligus penggagas paradigma ini, struktur keilmuan IAIN yang hampir lima puluh tahun berjalan mulai direformulasi.
Paradigma Intergrasi-Interkoneksi Ilmu
Paradigma Integrasi-Interkoneksi hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu, rasa superior, eksklusifitas, pemilah secara dikotomis terhadap bidang-bidang keilmuan yang dimaksud hanya akan merugikan diri sendiri, baik secara psikologis maupun ilmiah-akademis. Visi integrasi-interkoneksi adalah mengkaji suatu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya itulah integrasi dan melihat kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin ilmu itulah interkoneksi.
Brand yang diusung oleh UIN untuk menyebut dialektika ini adalah Hadarat al-nash, Hadarat al-'ilm dan Hadarat al-falsafah. Hadarat al-nash berarti kesediaan untuk menimbang kandungan isi teks keagamaan sebagai wujud komitmen keagamaan/keislaman; Hadarat al-'ilm berarti kesediaan untuk mengaitkan muatan keilmuan (yang didapat darihadarat al-'ilm yang telah berdialog dengan hadarat al-nash) dengan tanggung-jawab moral etik dalam praksis kehidupan riil di tengah masyarakat. Hadarat al-nash adalah jaminan identitas keislaman, hadarat al-'ilm adalah jaminan profesional-ilmiah, dan hadarat al-falsafah adalah jaminan bahwa muatan keilmuan yang dikembangkan bukan “menara gading” yang terhenti di “langit akademik”, tetapi memberi kontribusi positif-emansipatif yang nyata dalam kehidupan masyarakat.
Sumber:
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi : Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies: Dalam Paradigma Integrasi-Interkonesi (Sebuah Antologi). Yogyakarta: SUKA-Press, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar